Cita-cita ingin jadi penulis sudah saya tanamkan sejak SMA. Saya fikir waktu itu menulis adalah hal yang luar biasa, bisa menyalurkan gagasan yang dibaca banyak orang, menjadi terkenal dan tentunya punya pengaruh. Keinginan kuat itu bisa jadi karena sejak SD saya termasuk murid yang hobi membaca. Sampai sekarang, saya masih ingat buku pertama yang saya khatamkan sejak dibangku sekolah dasar. Judul buku itu adalah “Meneladani Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam”.
Walaupun dalam perjalanan karir di usia sekolah, belum ada benih-benih jiwa penulis dalam diri saya. Malahan, hal yang paling menonjol dari pribadi saya adalah kemampuan verbal. Beberapa kali saya menjuarai lomba pidato, sebagiannya malah pidato bahasa inggris ketika SMP. Begitu juga ketika SMA, saya malah terjun ke dunia tarik suara sebagai vokalis nasyid.
Tapi setelah difikir ulang, ada satu kisah menarik, yang menurut saya menjadi tanda bahwa saya punya bakat menulis.
Hari itu ketika saya SMP, guru bahasa Indonesia memberikan tugas kepada kami untuk membuat sebuah cerita pendek. Guru itu, Ibu Juniarti, hanya memberikan waktu satu pekan untuk pengumpulan tugas cerpen. Beberapa hari saya mengkonsep cerita yang berbeda dari yang lain, sebab kala itu cerpen adalah hal yang membosankan dan kebanyakan ditulis dalam format yang sama, seperti pengalaman dirumah nenek, pengalaman waktu liburan dan hal membosankan lainnya.
Waktu itu saya membaca beberapa cerpen yang ada dalam buku bahasa indonesia. Ada sebuah judul unik yang menjadi inspirasi saya dalam membuat tugas cerpen. “ular naga” sebuah cerpen yang memuat gambar ular sebesar pohon. Tetiba saya dapat ide untuk mengambil potongan cerita dari kisah tersebut dan saya buat dalam bentuk kekinian. Termasuk saya mengkopi bagian gambar dan saya letakan dalam cerpen saya yang juga di ketik waktu itu.
Cerpen saya bercerita tentang seorang anak yang pulang mengaji. Sewaktu berjalan ia melewati sebuah pohon dengan kondisi sepi. Dalam tenangnya situasi, tiba-tiba si anak mendengar sebuah suara menggeram. Tidak berfikir panjang si anak lari tunggang langgang dan melaporkan kejadian itu kepada kakeknya. Lantas kakeknya menceritakan sebuah cerita ular naga yang besarnya melebihi pohon. Si anak yang penasaran dengan cerita kakeknya memberanikan diri melihat sekali lagi keesokan paginya. Apakah benar ada seekor naga. Namun ternyata, apa yang dia takuti hanya suara anjing yang terjepit akar pohon.
Karena cerita yang saya tulis sangat berbeda dengan teman-teman sekelas. Bahkan menurut penuturan Bu Juniarti tulisan saya lebih mirip tulisan penulis cerpen pada umumnya ketimbang tulisan anak SMP. Tapi karena hal itu pula, saya dipanggil kedepan kelas. Beliau mengira tulisan itu copy-paste dari buku. Beliau marah pada mulanya, sebab beliau meminta tulisan yang asli. Namun saya berhasil menunjukan bukti-bukti keaslian tulisan saya tersebut. Sampai akhirnya beliau mengapresiasi dan memberikan nilai tertinggi saat itu.
Sejujurnya tidak banyak pengalaman menulis lainnya yang memiliki kesan seperti saat saya SMP itu. Sampai pada saat kuliah saya menjuarai menulis blog di sebuah Universitas swasta di Banda Aceh. Dua kali berturut turut bahkan. Tapi jika membanding-bandingkan capaian prestasi menulis. Tentu apa yang saya raih bukanlah apa-apa. Ketimbang para senior yang sudah lebih banyak prestasinya
Menulis bukan hanya tentang merangkai kata, bagi saya menulis adalah wadah berekspresi, mempengaruhi dan mengajak. Apalagi di era sosial media yang sudah berkembang ini, semua orang bisa membaca pada kanal-kanal digital setiap waktu.
Karena itulah menulis menjadi senjata yang sangat mematikan. Dalam konotasi positif, menulis adalah media dakwah yang luar biasa. Tak perlu bertemu, tak perlu menyapa, cukup satu arah orang bisa diajak kebaikan dengan mudah.
Karena itu, menulis adalah salah satu skill yang ingin terus saya asah. Salah satu skill yang harus terus tumbuh. Karena penulis, adalah profesi semua orang, menulis drama dalam kehidupan masing-masing.