Tulisan ini hanya kegelisan saya tentang banyaknya orang-orang shalih pengemban dakwah dipurnatugaskan oleh Allah dari kehidupan dunia. Walaupun inilah sunnatullah yang terjadi sejak dulu.
Meskipun begitu, kepulangan para da’i ini tidak bisa dianggap sederhana. Dan dari sini saya coba memahamkan tentang kenapa adanya da’i sangat penting dan kenapa kepulangannya menjadi beban berat bagi mereka yang masih hidup.
Da’i bukanlah orang biasa, mereka agen penyebar kebaikan. Bukan hanya penceramah, da’i bisa jadi sosok teknisi sound system, dengannya beragam agenda dakwah berjalan lancar dan sampai ke telinga masa, da’i bisa jadi driver, dengannya para asatiz bisa bergerak kesana kemari dengan tanpa hambatan. Da’i pun bisa jadi desainer grafis, melalui karyanya agenda dakwah terpromosikan. Semua kita adalah da’i asalkan siap mendukung dan mendermakan diri untuk agama ini.
Meski begitu menjadi da’i bukanlah perkara mudah, ada beban dan amanah yang tidak ringan. Sebab da’i juga menanggung beban orang lain ditengah dia juga harus menanggung beban kehidupannya sendiri. Belajar dari Koh Steven misalnya, menjadi salah satu orang yang berada di garda terdepan dalam menaungi para muallaf ditengah dia juga harus mengurus urusan pribadi.
Serius, duduk santai dirumah, mengikuti rutinitas harian tanpa beban yang berarti, sejatinya lebih nyaman. Ketimbang mengurus urusan umat yang peliknya minta ampun. Terkadang agenda dakwah yang diselenggarakan hanya dihadiri beberapa orang saja, padahal usaha sudah maksimal. Terkadang harus berpanas-panas turun ke jalan. Terkadang harus merasakan dingin malam dan tak jarang pulang kelelahan setelah agenda dakwah seharian, ditengah orang lain pada liburan.
Lebih daripada itu, bahkan banyak para da’i yang mengorbankan urusan pribadinya demi kelangsungan dakwah. Kadang ada bisnisnya yang tak terlalu berkembang, hanya karena waktunya tersita untuk urusan umat. Kadang adapula yang luput menjaga kesehatannya, kadang ada yang mengorbankan harta bendanya yang tak seberapa untuk kesuksesan agenda dakwah.
Sekali lagi hal ini tidak mudah, ditengah sifat individualis masyarakat yang merebak dimana-mana. Hanya memikirkan dirinya sendiri dan jauh dari nilai sosial yang saling tolong menolong. Hadirnya da’i menjadi oase ditengah keringnya jiwa individualis.
Saat ada da’i yang konsen dalam ekonomi syariah, giat berdakwah melawan riba, rentenir dan kerusakan sistem konvensional. Maka kita seharusnya bersyukur, karena tiang penyangga dakwah ekonomi syariah masih kokoh. Begitu pula ada da’i yang konsen dakwahnya adalah pembinaan muallaf, harusnya kita juga bersyukur, karena tiang dakwah disisi itu juga masih berdiri. Begitu pula untuk tiang-tiang dakwah yang lain.
Tapi bayangkan, jika satu per satu tiang ini roboh. Para da’i yang menjadi tiang penyangga di dakwahnya wafat. Sedikit sekali yang mampu menanggung amanah sebesar itu, maka wafatnya da’i tersebut akan menjadi beban berat bagi yang masih hidup.
Orang yang sebelumnya tercerah, banyak yang menggunakan sistem ekonomi syariah dan menjauhi riba, perlahan hilang, terganti dengan ekonomi konven dan merebaknya riba, karena tiang penyangganya roboh, da’inya wafat.
Muallaf yang dahulunya terbina, memiliki wadah untuk belajar, kemudian terpaksa terkatung-katung tak jelas arah, karena da’i dibidang itu pun sudah berpulang. Begitu pula di bidang-bidang dakwah yang lain. akan sangat sulit mencari pengganti da’i yang sanggup memikul beban beban berat itu.
Makanya sangat wajar, ketika mendekati akhir zaman , dunia akan sangat mengerikan dipenghujungnya. Prilaku-prilaku maksiat terjadi dimana-mana dan terang-terangan. Kezaliman tertampak nyata, kerusakan dimana-mana. Karena hal tersebut adalah implikasi dari tiang-tiang dakwah yang roboh satu per satu.
Sebagai sisa-sisa manusia yang masih hidup, kesulitan kita akan bertambah saat para da’i meninggalkan kita. Meski tak mampu kita menambal lubang, paling tidak kita berusaha mengecilkan kebocorannya. Kalau tak mampu kita menjadi da’i seperti pendahulu kita, maka paling tidak berusaha menjadi da’i yang tetap membawa manfaat untuk umat.